Dinilai Tak Adil, Tokoh Masyarakat ‘Tiga Batang Air’ ini Minta PT SIM Naikan Harga Sewa Lahan Tanam Pisang Abaka

Oplus_131072

MediatorMalukuNews.com_ Aktifitas PT. Spice Island Maluku (SIM) yang melakukan penanaman Pisang Abaka di sejumlah wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) mendapat sorotan tajam Aleksander Panna, salah satu tokoh masyarakat ‘Tiga Batang Air’. Dia menilai pihak perusahan tak adil soal harga sewa lahan yang dibayarkan kepada masyarakat pemilik lahan untuk menanam pisang tersebut.

Dalam pernyataannya via WhatsApp, Senin (4/8/2025) Panna tegas menyatakan, sebagai tokoh adat Negeri Sapalewa, dirinya tidak menolak investasi di Saka Mese Nusa. Hanya perhatian perusahaan terhadap anak asli di Kabupaten SBB yang harus menjadi prioritas.

Salah satu poin yang menjadi perhatian tokoh adat ini adalah, harga sewa lahan dari perusahaan kepada pemilik lahan yang ditanami Pisang Abaka, dimana dalam satu hektar lahan, para pemilik lahan hanya mendapatkan Rp.3 juta hingga Rp. 5 juta per 30 tahun penggunaan lahan. Untuk itu, jika dikonversikan, maka setiap tahun para pemilik lahan Pisang Abaka tersebut hanya memperoleh Rp ribu hingga Rp 116 ribu per hektar lahan.

Baca juga :   Paripurna Pengantar Nota RPJMD 2025– 2029, Wabup SBB: RPMJ Wujudkan Visi Misi Kepala Daerah

“Jumlah nominal itu terlalu kecil, Saya meminta para tokoh adat ‘tiga batang air’ Etty, Tala dan Sapalewa bersama pemilik lahan dan perusahaan PT SIM untuk duduk bersama satu meja, dan memperhitungkan ulang kesepakatan kontrak yang merugikan anak adat SBB ini,” cetus Panna.

Selain itu, tokoh masyarakat ini juga meminta para anak adat pemilik wilayah petuanan tak melakukan kontrak lahan kepada perusahaan di atas 30 tahun. Pasalnya, jika kontraknya di atas 30 tahun, maka hak kepemilikan atas wilayah petuanan bisa hilang.

Menurut Panna, ketegasan pihaknya terhadap perusahaan PT SIM yang melakukan penanaman Pisang Abaka di sejumlah wilayah di Kabupaten julukan ‘saka mese nusa’ ini, selain melindungi hak anak adat, juga berdasarkan pengalaman yang terjadi di wilayah perkebunan Kelapa Sawit di Latea, dimana anak pemilik lahan yang bekerja di perusahaan tersebut terkena sanksi pemecatan.( Nicko Kastanja)