Ini Bantahan Praktisi Hukum Maluku Terhadap Tuduhan ‘Obstruction of Justice’ Kuasa Hukum Silfester Matutina

IMG-20251019-WA0037

MediatorMalukuNews.com_Menanggapi pemberitaan media daring Sindonews berjudul “Khozinudin Ingatkan Pengacara Silfester Matutina Bisa Dijerat Pasal Obstruction of Justice” yang terbit 15 Oktober 2025, salah satu Praktisi Hukum Maluku, Marsel Maspaitella, S.H menyampaikan pendapat hukum secara resmi untuk meluruskan pandangan publik dan memastikan penegakan hukum berjalan secara proporsional serta sesuai asas ‘due process of law’.

Menurut Maspaitella, advokat tak dapat dikenakan tuduhan ‘Obstruction of Justice’. Pasalnya, secara prinsipil, advokat adalah bagian dari sistem peradilan, bukan pihak yang menghalangi peradilan.
Selain itu, kedudukan advokat ditegaskan dalam, pasal 5 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan, Advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan.
Sementara dalam Pasal 16 UU Advokat: dikatakan Advokat tak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar pengadilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengacara Silfester Matutina tidak dapat dikualifikasikan sebagai pelaku ‘obstruction of justice’ karena ia melaksanakan fungsi profesi untuk membela hak hukum kliennya secara sah.
Tidak Ada Dasar Hukum untuk penahanan klien.
Praktisi hukum ini menegaskan, putusan pengadilan terhadap Silfester Matutina yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak memuat amar “perintah penahanan” oleh hakim.

Baca juga :   Lakukan KDRT, Isteri Lapor Suami ke Polsek Kisar untuk Diproses Hukum

Sesuai Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan pidana dilakukan oleh jaksa berdasarkan isi amar putusan, bukan tafsir pribadi.

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa.”
Artinya:Jaksa tak dapat menahan seseorang tanpa dasar perintah eksplisit dalam amar putusan. Jika jaksa tetap menahan tanpa dasar amar, maka tindakan itu justru melanggar asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dan prinsip ‘rule of law.’

Dalam konteks ini, pengacara Silfester justru melaksanakan fungsi hukum yang benar, yaitu memastikan eksekusi dilakukan sesuai amar putusan — bukan menentangnya.

Unsur-unsur ‘Obstruction of Justice’ tidak terpenuhi dalam hukum pidana Indonesia, obstruction of justice atau “menghalangi proses peradilan” tidak diatur sebagai istilah tunggal, namun substansinya terdapat dalam beberapa pasal, seperti:
Pasal 221 KUHP – Menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.
Pasal 224 KUHP – Menolak menjalankan perintah hakim.
Pasal 233 KUHP – Menghilangkan barang bukti. Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) – Menghalangi penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan.

Baca juga :   Tingkatkan Profesionalisme, Polres SBB Gelar Sertijab dan Lantik Pejabat Baru

Dari unsur-unsur tersebut, tak satu pun terpenuhi dalam tindakan pengacara Silfester Matutina. Karena: Ia tidak menyembunyikan kliennya, tidak menghalangi jaksa menjalankan tugas berdasarkan amar putusan, tidak melakukan tindakan aktif yang menggagalkan proses hukum.
Dengan demikian, secara yuridis formil maupun materiil, tidak terdapat perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai ‘obstruction of justice’.

Jaksa Berpotensi Melanggar hukum bila menahan tanpa amar
Perlu dipahami putusan pengadilan adalah sumber kewenangan tunggal pelaksanaan eksekusi. Jika jaksa melakukan penahanan tanpa dasar amar, hal itu dapat dikategorikan sebagai: Pelanggaran terhadap Pasal 270 KUHAP, perbuatan melawan hukum oleh pejabat negara (Onrechtmatige overheidsdaad).
Bahkan dapat diuji melalui praperadilan (Pasal 77 KUHAP) karena termasuk penahanan yang tidak sah.
Dalam hal ini, advokat memiliki kewajiban etis dan hukum menolak tindakan penegak hukum yang bertentangan dengan amar putusan.

Prinsip ‘rule of Law’ harus dijunjung tinggi dalam negara hukum (rechtsstaat), tidak ada pejabat yang kebal hukum, dan tak ada penegakan hukum di luar amar putusan pengadilan.

Baca juga :   Kades Sera MBD Terancam Berurusan dengan Hukum Pasca Serobot Lahan Bersertifikat

Menyeret advokat ke ranah pidana atas dasar pembelaan hukum yang sah justru merupakan bentuk pelemahan terhadap sistem peradilan yang independen. Sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013, advokat merupakan bagian penting dari sistem peradilan yang tak boleh diintimidasi atau dikriminalisasi karena menjalankan profesinya.

Sebagai penutup dan pernyataan sikapnya sebagai praktisi hukum, Maspaitella menilai tak ada dasar hukum menuduh pengacara Silfester Matutina melakukan ‘obstruction of justice’. Advokat berhak dan wajib memastikan pelaksanaan putusan sesuai amar hakim; Penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri; Tuduhan yang berkembang justru berpotensi mencederai independensi profesi advokat serta mencampuradukkan fungsi pembelaan dengan perbuatan pidana.(Nicko Kastanja)